Aku Ingin Bunda Disini
Pagi
yang cerah. Matahari, burung-burung, angin, pepohonan, semua telah siap
melaksanakan tugas masing-masing. Semua begitu bersemangat menjalankan tugas
dari Sang pencipta untuk membuat dunia ini lebih indah. Tapi tidak sepertiku,
yang kebanyakan murung dan malas untuk menjalani hari-hari, terutama jika
disuruh pergi ke sekolah, hati ini begitu malas. Ada rasa takut yang selalu
menyelinap dalam diriku. Mereka semua seperti hantu bagiku. Hanya bersama
teman-teman sepermainan kampung aku merasa lebih damai dan bahagia.
“Renaaa,
Sudah siang, waktunya sekolah jangan di kamar terus! Kakek tahu kamu sudah
bangun, ayo cepat mandi! Itu air hangatnya sudah kakek siapkan!” teriak kakek membangunkan lamunanku.
“iya
kakeeek, sebentaar.” setelah merapikan tempat tidur aku segera menuju kamar mandi agar tidak
diomelin terus. Aku malas sekali mendengar omelan kakek, setiap kali marah
padaku, kakek selalu membandingkan aku dengan kakakku yang memang lebih rajin
dan pintar dariku. Aku sadar kakakku memang selalu mendapat predikat baik sejak
bersekolah di Taman Kanak-Kanak, tapi seharusnya kakek juga sadar, bahwa aku
tidak tinggal bersama kedua orang tuaku dan tidak mendapat bimbingan yang
seperti kakakku dapatkan. Aku juga ingin disayang, aku juga ingin diperhatikan
seperti kakakku.
“selesai
mandi, segera ganti baju dan sarapan. Lalu berangkat ke sekolah. Kamu itu harus
yang rajin kalau sekolahsupaya jadi orang sukses. Jangan malas, contoh itu
kakakmu rangkingnya selalu 3 besar dan nilainya bagus-bagus” tanpa banyak
bicara segera aku menuju kamar mandi dan BRAK!! Ku tutup pintu kamar mandi
dengan perasaan yang sangat kesal dan marah karena mendengar omelan-omelan yang
setiap hari tidak pernah absen dari mulut kakek saat menasehatiku. Aku tahu,
sebenarnya niat kakek baik, aku tahu kakek juga menyayangiku, tapi aku tidak
suka cara kakek menasehatiku. Aku selalu dibanding-bandingkan dengan kelebihan
kakakku.
***
Pukul
06.45, masih 15 menit lagi bel masuk kelas akan berbunyi. Huuft, hatiku sangat
berdebar-debar, tanganku berkeringat setiap akan masuk kelas. Semua itu karena
aku takut dengan guru dan teman-temanku. Sejak aku di Taman Kanak-Kanak sampai
kelas 4 SD selalu seperti ini, aku hanya punya 1 teman di sekolah, itupun masih
saudaraku sendiri, tak pernah brkurang ataupun bertambah.Aku sebenarnya juga
heran, kenapa aku harus takutdengan mereka? Mereka kan juga manusia, sama
seperti aku. Sama-sama makan nasi, sama-sama butuh tidur. Tapi aku juga sedih,
kenapa teman-temanku selalu memusuhiku? Mereka selalu menyalahkan aku. Dan yang
paling membuatku sedih adalah anak laki-laki di kelasku selalu pilih kasih
dalam memperlakukan aku dengan teman-teman perempuanku yang lain. Mereka bilang
aku jelek, dan perlakuan mereka terhadapku sungguh mengesalkan hati!
Teeett
teeett teeett...! bel tanda masuk kelas sudah berbunyi, saatnya pelajaran
dimulai. Aku masuk kelas dan duduk di bangku deretan kedua dari belakang.
Sahabatku hari ini sedang sakit dan tidak masuk sekolah, jadi hari ini aku duduk sendirian. Sendiri dalam
keramaian, sungguh menyedihkan.
“selamat
pagi anak-anak! Sebelum pelajaran di mulai, mari kita berdoa dulu agar ilmu
yang ibu ajarkan hari ini bermanfaat. Clara, kamu yang pimpin doa ya, nak.”
Sambil mulai mengambil tempat duduk, bu
Nur menyuruh temanku untuk memimpin doa.
“Baik,
Bu..” Jawab clara sambil mulai memimpin doa. Clara adalah salah satu teman di
kelasku yang tergolong pintar dan cantik. Dia sangat aktif di kelas,
teman-teman begitu segan padanya, begitupun aku. Pernah suatu ketika bu Nur
menyuruhku untuk pindah tempat duduk bersebelahan dengan clara, rasanya sungkan
sekali ketika ingin mengajaknya bicara, karena clara sendiri juga selalu diam
ketika duduk denganku. Padahal aku ingin sekali belajar banyak hal pada clara,
karena aku merasa jika aku pintar seperti clara aku akan lebih tenang dalam
menghadapi segala situasi di sekolah terutama di kelas, jantungku juga tidak
akan berdebar dan tanganku juga tidak berkeringat karena gugup. Dan aku juga
pasti disayang dan dipuji oleh kakek. Terus kalau orang tuaku datang menjengukku
mereka pasti akan bangga denganku dan bunda pasti tidak akan memarahiku lagi
seperti sebelumnya karena aku mendapat nilai jelek.
“Ehem,
Rena!” panggilan bu Nur langsung membuyarkan lamunanku.
“Ii
iya, bu..?” jawabku terbata dan seperti biasa jantungku berdebar dan tanganku
mulai berkeringat.
“Dari
tadi melamun saja, ibu pindah saja ya tempat duduknya” sambil memandangi bangku
yang kosong akhirnya bu Nur menemukan tempat yang pas untukku. “kamu pindah
duduk di sebelahnya jerry” perintah bu Nur sambil menunjuk bangku yang kosong
itu.
“Baik,
bu..” jawabku dengan suara yang hampir tidak terdengar. Ku langkahkan kakiku
dengan sangat berat menuju bangku sebelah jerry, aku paling malas kalau disuruh
duduk sebelahan dengan anak laki-laki. Mereka jahat dan suka menghinaku. Karena
di sekolahku ini satu meja untuk dua anak, akhirnya tempat dudukku ku tarik
sampai ke meja yang paling pinggir agar jarak duduk kami berjauhan.
“Eh,
jelek! Emang aku suka apa duduk di sebelah kamu?! Aku juga nggak suka tahu!”
sambil memandangku sinis, jerry menjauhkan tempat duduknya dariku juga. Aku
hanya meliriknya dengan pandangan seolah menantang, padahal sebenarnya
perasaanku tak karuan karena takut kalau
nanti dihadang jerry dan teman-temannya sepulang sekolah. Segera ku buang
rasa takutku itu dan serius mengikuti pelajaran, karena bu Nur sudah mulai
menjelaskan materi baru, tentang perkalian dan pembagian dalam bilangan ribuan.
***
Teeet
teeet teeet! Akhirnya, bel tanda pulang telah berbunyi, aku bergegas
membereskan semua peralatan tulis yang di atas meja.
“Anak-anak,
sebelum kita pulang mari kita berdoa terlebih dahulu, agar kita diberikan
keselamatan dalam perjalanan pulang nanti, berdoa dipersilahkan”
“selesai!”
“memberi
salam” ucap ketua kelasku dengan penuh semangat.
“Asssalaamu’alaikum
warohmatullohi wa barokatuh!” dengan penuh semangat aku dan teman-teman memberi
salam kepada bu Nur dan bergegas pulang sambil menyalami bu Nur satu persatu.
***
Matahari begitu terik siang ini, aku bergegas menuju rumah, karena
matahari yang semakin tinggi seolah membakar ubun-ubunku. Akhinya aku sampai
juga di halaman rumah.
“Assalaamualaikum,
aku pulang, kek.”
“waalaikumussalaam,
istirahat sebentar setelah itu makan ya, nak. Jangan lupa sholat dan
mengerjakan PR .” seorang wanita dengan lebut menyambut kedatanganku.
“bunda!”
sontak aku kaget dan langsung lari memeluk bunda.
“Bunda
kapan datang? Rena kangeeen sekali sama bunda.”
“Bunda
tadi datang jam 11, nak. Bunda juga kangeeen sekali sama rena, ya sudah, rena
ganti baju dulu langsung sholat ya, bunda siapkan dulu makan siangnya”
“baik, bunda!” dengan
penuh semangat aku melaksanakan perintah bunda.
Tidak seperti hari biasanya, aku begitu malas kalau disuruh kakek ganti
baju, tapi karena hari ini yang menyuruh bunda aku jadi lebih semangat. Aku
begitu bahagia kalau bunda disini, bunda itu selalu sabar dan telaten dalam
membimbingku, hanya saja kalau bunda sedang silaturahim ke rumah tetangga
selalu saja sepulangnya dari sana aku dimarahi, para tetanggaku selalu bilang
kepada bunda kalau aku main terus dan
nggak nurut sama kakek.
“Bunda,
tolong buatkan telur dadar, yaa”
“Iya,
nak bunda buatkan. Sekarang rena sholat dhudur dulu, yaa”
“asiik!
Iya bunda” sambil menuju tempat wudhu.
***
Malam ini sangat menawan, ku tatap langit berhiaskan gemerlap bintang
dan senyum sang rembulan yang tiada redup dan menyinari bumi sepanjang malam,
indah sekali. Kali ini hatiku sangat kompak dengan susana malam, begitu indah
dan bahagia. Terima kasih Ya Allah, karena malam ini aku bisa bersama bunda
menatap langit malam yang cerah dan indah.
“bunda,
bunda! Bunda tidur disini saja ya, malam ini, kak nadia biar sama ayah aja.”
“hmm,
gimana ya?? Iya sayang, bunda memang malam ini mau nemenin rena.” Sambil
tersenyum manis bunda mencubit pipiku.
“horee!!
Beneran ya bunda? Nanti bunda tidur sama rena yaa.”
“iyaa,
rena sayang.”
Malam
ini begitu indah, rasanya aku tak ingin segera berakhir. Aku ingin setiap hari
bunda disini menemani hari-hariku.
***
“Rena,
bangun nak. Segera mandi, waktunya
sekolah” suara bunda menyadarkan aku dari mimpi.
“hoamh,
sebentar ya bunda, masih ngantuk nih”
“loh,
ayo bangun, nak. Nanti bunda buatkan telur dadar spesial deh. Terus nanti
sebelum berangkat sekolah rambut rena
bunda kepang kuda.”
“waah,
iya deh rena bangun” sambil tersenyum untuk bunda aku segera menuju kamar
mandi.
Setelah mandi dan sarapan aku segera menghampiri bunda agar mennyisir
dan mengepang rambutku.
“Bunda,
rena itu sebenarnya malas sekali kalau ke sekolah, teman-teman rena jahat sama
rena bunda, mereka selalu merendahkan rena. Rasanya sebeel, bunda!”
“Renaa,
mungkin teman-teman rena itu hanya bercanda saja, jmereka sebenarnya sayang kok
sama rena. Rena, kamu itu harus belajar yang rajin biar pintar, biar nanti
kalau ditanya atau disuruh maju sama bu guru dan pak guru rena bisa menjawab
dengan baik. Selain itu kamu juga akan lebih dihargai teman-temanmu, nak”
Nasehat bunda sungguh membuatku lebih tenang, tapi aku masih merasa kalau bunda
tidak disini aku juga tidak akan bisa rajin dan disiplin seperti ketika ada
bunda. Karena bunda adalah semangatku, bunda adalah senyumku.
“iya
bunda, tapi kenapa bunda tidak menemani rena saja atau membawa rena bersama
bunda ke kota? Kenapa nggak kak nadia aja yang disini, bunda??”
“Rena,
bukannya ayah dan bunda tidak sayang sama rena. Ayah dan bunda sayang kok sama
rena.Sudah, rena sekarang berangkat sekolah ya, sudah siang, nak.”
“Bunda
belum jawab pertanyaan rena”
“nanti
pasti bunda jawab, sekarang rena ke sekolah dulu ya”
“iya,
bunda” sambil berpamitan dengan bunda dan kakek aku bergegas menuju ke sekolah.
Sejuta tanya masih memenuhi kepalaku karena bunda belum menjawab
pertanyaanku. Sepulang sekolah nanti akan aku tanyakan pada bunda, gumamku
dalam hati.
***
Siang
ini tidak terlalu panas, mendung bergelayut manja menghalangi sinar sang
mentari. Ku langkahkan kakiku secepat mungkin. Aku ingin segera sampai di rumah
dan segera menanyakan kepada bunda
tentang jawaban dari pertanyaan tadi pagi yang masih menjadi tanda tanya besar
di kepalaku.
“Assalaamualaikum!”
“Assalaamualaikum!”
“Waalaikumussalaam”
“kakek,
bunda mana? Kok tidak terdengar suara bunda ya?” tanyaku sambil mencari-cari
bunda di setiap ruangan dengan perasaan yang mulai tak tenang.
“bunda
kamu sudah pulang, nak” jawab kakek sambil menyiapkan mengelus lembut rambutku.
“Pulang
kemana, kek?! Ini kan juga rumah bunda?” Tubuhku mulai melemas karena menahan
air mata.
“kenapa
bunda tidak menungguku pulang, kek?? Kenapa?? Aku pun tak dapat membendung air
mata.
“kakakmu masuk rumah sakit lagi, bunda kamu panik, jadi tadi langsung pulang. Rena jangan sedih ya, kan masih ada kakek. Oh iya, ini tadi surat dari bundamu.” Sambil menenangkan perasaanku kakek memberikan surat dari bunda.
Untuk: Rena anak tersayang Ayah dan Bunda
“Rena sayang, maafkan bunda
ya, nak. Bunda pulang nggak pamit dulu sama rena. Kakak kamu, kak nadia
sakit, kakakmu masuk rumah sakit lagi. Bunda berharap rena bisa mengerti
ya, nak. Bunda sayang sama rena.
Oh iya, tentang pertanyaan
yang rena tanyakan tadi pagi, sebenarnya kenapa bunda nggak tinggal sama
rena, itu karena bunda harus merawat kakak kamu, bunda juga punya tanggung
jawab sebagai istri buat ayah kamu. Bunda tahu, rena juga anak bunda, rena
juga tanggung jawab bunda, tapi kakek kamu sendirian, nak. Kalau rena ikut
sama bunda ke kota, tinggal bersama ayah, bunda dan kak nadia, kasihan
kakek kamu nanti sendirian. Kakek juga butuh teman, nak. Kakek juga sayang
kok sama rena. Bunda berharap rena bisa mengerti ya, nak.
Terus, kenapa bukan kak nadia yang tinggal
sama kakek, itu karena kakak kamu sedang sakit parah, nak. Rena tahu
sendiri kan kalau penyakit kakakmu sering kumat dan kakakmu sering
pulang-pergi rumah sakit? Dan tidak mungkin kalau kakek harus merawat
kakakmu. Itulah nak sebabnya kenapa ayah dan ibu memilih rena yang tinggal
bersama kakek, menemani kakek di desa.
Maafkan ayah dan bunda ya,
nak. Bunda yakin rena akan menjadi gadis yang kuat dan luar biasa. Belajar
yang rajin ya rena, nurut sama kakek, jangan nakal. Pasti nanti rena punya
banyak teman.
Kakek pasti akan menjaga
rena kok, Allah juga akan selalu menjagamu, nak. Pasti.
Jangan lupa sholat dan
ngaji ya, nak. Biar semakin disayang sama Allah.
Salam sayang selalu untuk
anakku tersayang, rena.
Dari bundamu yang selalu menyayangi dan
mendoakanmu.”
Surat bunda semakin
membuat air mataku mengalir deras, aku tak tahu harus berkata apa, lidahku seperti
tak mampu mengeluarkan kata-kata. Ku tatap langit siang ini, perlahan rintik
hujan mulai datang dan semakin deras. Entah berapa tahun lagi aku harus
menantikan bunda untuk datang kembali. Ku harap Allah mendengar rintihan
hatiku, begitupun bunda.
Aku ingin bunda
disini..
*** end***
|
Kisah Panjang....
BalasHapus