Jumat, 09 Mei 2014

Gelar Di atas Batu Nisan


              Menurutku, gelar dan nama adalah dua hal yang tak boleh dicerai-beraikan. Seperti jilbab dan mahkota perempuan, seperti tubuh dan pakaian, sebuah nama akan telanjang tanpa gelar. Itulah mengapa aku sangat mengutuk orang-orang—terutama mahasiswaku—yang luput mencantumkan gelar pada namaku. Sebagai seorang dosen senior, aku telah menerapkan sebuah kebijakan bagi seluruh mahasiswa yang mengikuti perkuliahanku.

Ya, aku sudah memikirkannya masak-masak, kalau mahasiswaku melakukan salah satu dari tiga hal, aku tak usah berpikir panjang untuk menghadiahkan nilai C pada mereka, atau kalau lebih buruk lagi, aku tak sungkan-sungkan mendupak mereka untuk mengulang perkuliahan pada semester depan. Memang sebaiknya begitu!
Ketiga hal itu, yang pertama ialah mahasiswa yang menganggap skripsinya tak lebih penting dari novel-novel terjemahan yang tebal, yang setia mereka baca berjam-jam sampai akut memenuhi otak mereka yang kering.
Yang kedua ialah mereka yang menganggap perkuliahan tak lebih dari sekedar ludruk yang bisa mereka datangi setiap kali mereka butuh lelucon. Mereka adalah mahasiswa yang punya ciri-ciri mudah ditebak, biasanya mereka hanya masuk dua sampai lima kali dalam hampir satu semester.
Dan yang ketiga, ialah mereka yang berulang kali salah menyebutkan nama berikut gelarku. Seperti yang aku sebutkan di awal cerita, gelar dan nama adalah sesuatu yang sakral.Tak boleh diotak-atik oleh siapapun. Untuk hal yang pertama dan kedua, aku sudah tidak punyatoleransi dalam bentuk apapun. Dan untuk hal yang ketiga, aku selalu berbaik hati. Maka pada setiap awal semester, pada awal pertemuan perkuliahan, aku suka panjang lebar memperkenalkan diri. Para mahasiswa yang belum pernah mengikuti perkuliahanku, mereka akan mendengarkan semua ceritaku dengan khidmat dan sesekali manggut-manggut.
Posisiku sebenarnya cukup signifikan, bagaimana tidak? Jabatanku di kampus adalah pembantu rektor satu, sekaligus guru besar. Sudah berapa dosen di kampus ini yang dulunya bekas mahasiswaku? Toh, mereka semua menghormatiku.
Tak perlu ditebak, pastinya gelarku cukup mentereng. Setiap awal semester, pada acara perkenalan dengan mahasiswa baru, aku selalu menuliskan nama lengkapku besar-besar di jantung papan tulis. Aku selalu menuliskanya begini:
                                                  Prof. Dr. H. M. Kibari, MA. Ph.D
Bila para mahasiswa yang kuajak bicara mengernyitkan dahi, maka dengan semangat aku menjelaskan pada mereka bahwa kata Prof. dari namaku itu berarti Profesor, yakni seorang ahli dalam suatu bidang. Bidangku tentu kebahasaan. Untuk meyakinkan mereka, aku selalu menyebutkan prestasi-prestasi akademik dan non akademik yang telah kukantongi. Sudah bertebaran pula buku-buku barat yang aku terjemahkan ke dalam bahasa ibu. Rasanya tak ada yang kurang dengan prestasiku.
Adapun mengenai huruf Dr. dari namaku ialah singkatan dari kata Doktor yang aku peroleh dari S3-ku yang kedua, di Jakarta. Tak pernah ketinggalan pula aku menjelaskan tentang huruf H. yang bertengger pada namaku, huruf H disana tentu saja singkatan dari kata Haji, itu karena memang sudah berkali-kali aku ke Mekah. Dan untuk huruf M aku takkan menjelaskan panjang lebar, karena M disana ialah singkatan dari nama depanku Muhammad.
Dan huruf M.A, Master of Art merupakan oleh-oleh dari S2-ku darinegeri yang punya ibu menara Eiffel. Dan yang terakhir adalah Ph.D, gelar yang penghujung itu berarti Philosophy of Doctoral, aku mendapatkan gelar itu karena S3-ku yang pertama, di negeri yang sama, Prancis. Hebat bukan?
Tak ada yang perlu diragukan, rasanya gelar itu cukup sepadan dengan kemampuan akademik yang kumiliki. Mungkin bisa dibilang aku ini seorang multi-talent. Mulai dari kecerdasan matematis, bahasa, kinestetik, sampai musikal, aku menguasainya. Tak banyak orang tahu bahwa diam-diam aku ini berbakat menggesek biola. Itulah yang kukatakan sebagai kecerdasan musikal. Bukannya aku sombong, karena sombong itu ialah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. Aku tidak begitu. Justru aku mengagungkan kebenaran. Semua tentangku memang benar adanya, bukan mengada-ada. Aku juga tak pernah memandang rendah orang lain. Mungkin orang lain saja yang harus mengakui bahwa aku memang ada di atas mereka, dalam banyak hal.



Pada akhir semester seperti ini biasanya aku akan lebih sibuk dari biasanya. Banyak sekali agenda-agenda kampus yang harus rampung sebelum rapat wisuda digelar nanti. Belum lagi urusan konsultasi para mahasiswa yang bebal itu. Beberapa kali mereka datang ke rumah, mengemis-ngemis agar aku dapat menerima konsultasinya lalu meng-accskripsinya yang amburadul itu.  Seminggu terakhir ini sudah terhitung tiga mahasiswa yang terpaksa aku dupak untuk mengulang semester depan. Aku sudah terbiasa dengan wajah-wajah kecewa mereka.
Awal pekan lalu, seorang wanita berkunjung ke rumah. Setelah kuhitung-hitung, aku yakin, itu kedatangannya yang ketujuh. Sepertinya dia lebih pandai mengobral alasan dari pada menekuni tugas akhirnya. Kali ini dia datang malam-malam dengan segepok kertas di tanganya. Aku menyesal sekali, istriku mempersilakanya masuk. Terpaksa aku meladeninya.

“Apa kita sudah buat janji sebelumnya?” ujarku tanpa basa-basi.
“Maaf Pak, saya tadi tidak sempat, tadi seharian penuh saya menyelesaikan bab terakhir ini. Dan waktusaya ke kampus bapak tidak ada,” dalihnya enteng.
“Walah… itu alasan kamu saja, wong sedari pagi saya di kampus kok! Urusan kampus ya selesaikan di kampus. Lha kenapa kamu berani menemui saya tanpa membuat janji terlebih dahulu. Sudah…, sebaiknya kamu pulang saja, saya mau istirahat...” tukasku santai.
“Tapi Pak, Minggudepan sudah ujian. Izinkan saya bicara sebentar dengan Bapak. Saya mau minta pertimbangan-pertimabangan lagi dari Bapak, supaya semuanya clear dan lusa saya sudah bisa daftar ujian skripsi.” Ia merajuk, membuatku semakin muak.
“Entah besok ujian, entah minggu depan ujian, itu urusan kamu. Pertanyaanya, selama satu semester ini kamu ngapain aja? Bukannya dead line yang kuberikan sudah kadaluwarsa?”
“Sungguh, Pak…! Ada urusan penting yang harus saya utamakan.”
“Lebih penting dari skripsimu?” tandasku.
Wanitaitu tak bergeming, tapi matanya mengkilat seperti kaca.
“Sudah, terserah draft itu mau kamu apakan. Yang jelas malam ini saya mau istirahat. Badansaya rasanya remuk semua. Maaf.” Ucapku singkat, lalu beringsut meninggalkannya yang tergugu di ruang tamu.Entah dengan cara apa dia enyah, lagi-lagi aku takkan peduli. Aku benar-benar muak dengan mahasiswa model begitu.
Mahasiswa kedua yang tidak kugubris kedatangannya juga seorang wanita, ia mengaku tak punya banyak waktu untuk menyentuh skripsinya karena iarepot mengurus balitanya. Bagiku, itu resiko yang harus ia tanggung, maka baginya tak ada lagi toleransi. Aku hanya harus ia tanggung, maka baginya tak ada lagi toleransi. Aku hanya menyarankan padanya supaya ia pandai-pandai membagi waktu.
Yang ketiga ialah seorang pemuda kumal. Dia seorang aktivis organisasi ekstra kampus. Bertubi-tubi ia mengemukakan alasan dengan bahasa yang diplomatis dan dibuat-buat. Dipikirnya itu akan merubah nasibnya, sama sekali tidak. Bahkan terang-terangan aku memberinya dua pilihan, skripsi atau organisasi. Aku menyuruhnya pulang dan datang kembali semester depan dengan pilihan yang tepat.
Setelah para mahasiswa erroritu, malam ini datang lagi seorang pemuda dengan potongan alim. Kalau tidak salah dia adalah seorang anggota takmir masjid kampus. Entah, aku lupa namanya siapa. Sebenarnya diaitu rajin, tapi untuk soal skripsi dia tak beda jauh dengan mahasiswa kebanyakan. Dari matanya aku masih menagkap kemuakannya terhadapku, mungkin dia teringat kejadian beberapa bulan lalu saat aku menegurnya karena kesalahan fatal menyebut namaku tanpa memakaikan bajunya, gelarnya.
Pada khutbah Jumat waktu itu aku mendapat jadwal khatib, dan dia sebagai bilal. Sebelum aku naik ke mimbar, dia menyebutkan namaku begini:
”Dan pada Jum’at kali ini, khutbah Jumat akan diisi oleh Bapak Muhammad Kibari.”
Bukankah seharusnya dia menyebut namaku begini:
”Dan pada Jumat kali ini, khutbah Jumat akan diisi oleh Prof. Dr. H. M. Kibari, MA. Ph.D.”
Iya kan? Seharusnya begitu, kan? Utung saja posisiku waktu itu sebagai khatib, kalau tidak pasti aku sudah melabraknya. Tapi sudahlah, aku sudah melupakan kejadian itu dan memaafkannya. Dan malam ini aku menerima konsultasinya yang terakhir, tentu setelah dia membuat janji denganku.
“Maaf Pak, ini hasil revisi saya yang terakhir,” ucapnya sambil menyerahkan bendel skripsinyayang tebal. Dengan malas aku meraihnya, lalu membolak-balik halaman itu dengan saksama.
“Apa ini? Sudah mau diwisuda ngetik saja belum becus. Lihat itu! Apa pantes itu dibaca orang?” pekikku setelah mencoret beberapa kata yang salah redaksi.
“Maaf, Pak, mungkin saya memang kurang teliti. Akan segera saya perbaiki,” balasnya. Belum selesai ia bicara aku sudah menemukan lagi kesalahannya yang lebih fatal.
“Ini apa lagi. Rupanya kamu benar-benar tak tahu siapa nama dosen pembimbingmu sendiri. Ini lihat!” Tanganku mengacung pada tulisan: ‘Dosen Pembimbing: Prof. H. Kibari, MA. Ph.D’.
”Ini Doktornya mana, terus M, Muhammadnya mana? Sudah, sudah, ini bawa lagi skripsimu. Besok saya tunggu di kampus, jam sepuluh. Ingat! Itu yang terakhir kali, kalau kamu masih salah-salah lagi, saya sarankan kamu ujian semester depan saja! Kamu belajar ngetik dulu sambil menghapalkan gelar-gelar saya.” Emosiku meledak. Setelah sepatah dua patah kata yang terbata, ia memohon diri dengan wajah seperti terbakar.
Esoknya pemuda itu menemuiku di kantor, ia kembali dengan print outyang baru, tapi dasar penyakit, dia membuat kesalahan lagi dengan menghilangkan tanda baca titik pada ujung kata Prof dan Dr. Tanpa berpikir panjang aku menyuruhnya menuliskan tanda titik itu secara manual, dengan pena yang digenggamnya. Setelah kurasa beres aku segera meng-acc-nya, aku tak ingin lama-lama berhadapan dengannya. Bisa-bisa darah tinggiku kumat.

Usai sidang skripsi, aku bisa bernafas lega. Hal yang paling sulit bagiku selama berpuluh-puluh tahun jadi dosen ialah saat menjadi penguji skripsi. Aku selalu dihadapkan pada dua pilihan yang menyebalkan; yakni memelihara kebodohan para mahasiswa itu atau mempermalukan mereka. Namun aku lebih sering mengambil pilihan yang pertama: memelihara kebodohan mereka dengan dua kata: kamu lulus.
Biasanya, seusai nilai keluar, para mahasiswa bimbinganku yang puas dengan nilainya akan mendatangiku dengan ucapan terimakasih berikut tandanya. Minggu ini sudah terhitung lima tanda mata yang aku terima, mulai dari karangan bunga, kemeja, arloji, hiasan dinding bahkan sampai sepatu made inItali.
Dan malam ini aku menerima lagi sebuah kiriman paket dalam kardus besar tanpa nama pengirim. Aku tersenyum-senyum saja menerimanya. Dari beratnya, aku yakin isinya bukan barang biasa.
”Dapat lagi, Bu!” kataku sambil memamerkan paket kotak itu pada istriku.
“Wah sepertinya berat sekali. Kira-kira isinya apa ya, Pak?” tanya istriku.
“Yah, pastinya benda berharga, Bu. Mahasiswaku kalau memberi hadiah memang tak tanggung-tanggung,” balasku girang.
Istriku tersenyum,”Cepet buka Pak! Saya jadi ndak sabar pingin ngeliat isinya apa.”
”Iya, iya, saya buka. Sabar. Tapi tolong, Ibu bikinin teh dulu buat Bapak.”
”Iya, Ibu bikinin. Tenang saja. Tunggu sebentar ya, Pak!” Ujarnya sambil beranjak ke dapur.
Istriku pasti akan terkagum-kagum melihat kado istimewa dari mahasiswaku kali ini. Bagaimana tidak istimewa, bungkusnya saja dari kertas emas berkilauan dengan pita cokelat muda, masih dihiasi bunga-bunga rumput kering pula, artistik sekali. Dan untuk lebih memberi sensasi kejutan, pengirim kado ini pasti sengaja membuat saya penasaran dengan tidak mencantumkan siapa nama pengirimnya.
Maka dengan tidak sabar aku membuka kardus itu. Satu persatu kulucuti pita dan plester yang rapat membalut kardus itu. Kubuka kertas emas mengkilat itu pelan-pelan agar tidak sampai sobek. Aku benar-benar sudah tidak sabar untuk melihat isinya. Mulai kusingkap kardus itu dengan hati dag-dig-dug penasaran. Setelah kubuka kardus itu aku tercekat, kaget bukan main. Dua papan batu nisan dari marmer terbujur di sana. Pada salah satu batu nisan itu terukir tulisan yang sangat indah, berseni. Tulisan itu begini:

                                      Alm. Prof. Dr. H. M. Kibari, MA. Ph.D

Jidatku terasa dihantam pendulum satu ton saat kusadari apa yang baru saja kubaca. Kepalaku mulai terasa pening. Bersama dengan batu nisan itu, terselip pula selembar kertas dengan tulisan tangan yang cukup rapi, kubaca tulisan itu perlahan:
Bapak Prof. Dr. H. M. Kibari, MA. Ph.D. yang ter—gila—hormat. Mohon maaf sebelumnya.
Ini saya kirimkan kenang-kenangan berharga buat Anda. Batu mahal berukir gelar kebanggaan Anda. Jadi, kelak Anda tidak usah repot-repot membayar orang untuk mengukir gelar Anda pada batu itu.
Oh ya, saya juga telah menuliskan satu lagi gelar bagi Anda: Almarhum. Tentu Anda senang, gelar Anda bertambah satu lagi. Gelar itu akan benar-benar Anda dapatkan, jadi Anda tak usah khawatir. Mohon disimpan baik-baik hadiah dari saya ini. Anda boleh memajangnya di ruang tamu atau di kamar tidur Anda, supaya Anda selalu bisa melihatnya. Semoga bermanfaat.
Salam
Mahasiswamu.
Usai membacanya kepalaku berdenyut-denyut tak karuan. Wajah-wajah kecewa itu berkelebat satu-persatu menggelayuti dinding kepalaku. Aku seperti menemukan maksud indah yang enggan kuterima kebenarannya. Tanganku masih gemetar menimang batu kuburan itu, aku tak mau siapapun tahu akan hal ini. Sebelum istriku melihatnya, secepat kilat kumasukkan kembali batu itu ke dalam kardus lalu membungkusnya kembali, rapat-rapat.
“Wah, isinya apa, Pak? Ibu mau ngeliat,” tutur istriku dengan secangkir teh yang masih bergoyang di tanganya.
“Ah, tak perlu, Bu. Ini cuma hiasan batu berukir biasa,” balasku kecut. Sesuatu yang tidak enak mulai menggeliat di kepalaku lalu meletup-letup di palung dadaku.

                                                                                              Cerpen Oleh: Mazdhar Zainal
Lembah Ibarat, 2009-2010
Cerpen ini menjadi Juara 1 Lomba cerpen KAMMI Universitas Negeri Malang
 

 

1 komentar:

  1. Sangat menginspirasi artikelnya.
    Terkait dengan penulisan gelar di batu nisan, menurut saya adalah kembali lagi kepada niat masing-masing individu. Apakah tujuannya untuk riya atau untuk memotivasi anak dan cucu kita kelak agar minimal pendidikannya bisa setara dan tidak lebih rendah.

    BalasHapus