Menurutku, gelar dan nama adalah dua hal yang tak
boleh dicerai-beraikan. Seperti jilbab dan mahkota perempuan, seperti tubuh dan
pakaian, sebuah nama akan telanjang tanpa gelar. Itulah mengapa aku sangat
mengutuk orang-orang—terutama mahasiswaku—yang luput mencantumkan gelar pada
namaku. Sebagai seorang dosen senior, aku telah menerapkan sebuah kebijakan
bagi seluruh mahasiswa yang mengikuti perkuliahanku.
Ya,
aku sudah memikirkannya masak-masak, kalau mahasiswaku melakukan salah satu
dari tiga hal, aku tak usah berpikir panjang untuk menghadiahkan nilai C pada
mereka, atau kalau lebih buruk lagi, aku tak sungkan-sungkan mendupak mereka
untuk mengulang perkuliahan pada semester depan. Memang sebaiknya begitu!
Ketiga
hal itu, yang pertama ialah mahasiswa yang menganggap skripsinya tak lebih
penting dari novel-novel terjemahan yang tebal, yang setia mereka baca
berjam-jam sampai akut memenuhi otak mereka yang kering.
Yang
kedua ialah mereka yang menganggap perkuliahan tak lebih dari sekedar ludruk
yang bisa mereka datangi setiap kali mereka butuh lelucon. Mereka adalah
mahasiswa yang punya ciri-ciri mudah ditebak, biasanya mereka hanya masuk dua
sampai lima kali dalam hampir satu semester.
Dan
yang ketiga, ialah mereka yang berulang kali salah menyebutkan nama berikut
gelarku. Seperti yang aku sebutkan di awal cerita, gelar dan nama adalah
sesuatu yang sakral.Tak boleh diotak-atik oleh siapapun. Untuk hal yang pertama
dan kedua, aku sudah tidak punyatoleransi dalam bentuk apapun. Dan untuk hal
yang ketiga, aku selalu berbaik hati. Maka pada setiap awal semester, pada awal
pertemuan perkuliahan,
aku suka panjang lebar memperkenalkan diri. Para mahasiswa yang belum pernah
mengikuti perkuliahanku, mereka akan mendengarkan semua ceritaku dengan khidmat
dan sesekali manggut-manggut.
Posisiku
sebenarnya cukup signifikan, bagaimana tidak? Jabatanku di kampus adalah
pembantu rektor satu, sekaligus guru besar. Sudah berapa dosen di kampus ini
yang dulunya bekas mahasiswaku? Toh, mereka semua menghormatiku.
Tak
perlu ditebak, pastinya gelarku cukup mentereng. Setiap awal semester, pada
acara perkenalan dengan mahasiswa baru, aku selalu menuliskan nama lengkapku
besar-besar di jantung papan tulis. Aku selalu menuliskanya begini:
Prof.
Dr. H. M. Kibari, MA. Ph.D
Bila para mahasiswa yang kuajak bicara mengernyitkan
dahi, maka dengan semangat aku menjelaskan pada mereka bahwa kata Prof. dari
namaku itu berarti Profesor, yakni seorang ahli dalam suatu bidang. Bidangku
tentu kebahasaan. Untuk meyakinkan mereka, aku selalu menyebutkan
prestasi-prestasi akademik dan non akademik yang telah kukantongi. Sudah
bertebaran pula buku-buku barat yang aku terjemahkan ke dalam bahasa ibu.
Rasanya tak ada yang kurang dengan prestasiku.
Adapun
mengenai huruf Dr. dari namaku ialah singkatan dari kata Doktor yang aku
peroleh dari S3-ku yang kedua, di Jakarta. Tak pernah ketinggalan pula aku
menjelaskan tentang huruf H. yang bertengger pada namaku, huruf H disana tentu
saja singkatan dari kata Haji, itu karena memang sudah berkali-kali aku ke
Mekah. Dan untuk huruf M aku takkan menjelaskan panjang lebar, karena M disana
ialah singkatan dari nama depanku Muhammad.
Dan
huruf M.A, Master of Art merupakan oleh-oleh dari S2-ku darinegeri yang punya
ibu menara Eiffel. Dan yang terakhir adalah Ph.D, gelar yang penghujung itu
berarti Philosophy of Doctoral, aku mendapatkan gelar itu karena S3-ku yang
pertama, di negeri yang sama, Prancis. Hebat bukan?
Tak
ada yang perlu diragukan, rasanya gelar itu cukup
sepadan dengan kemampuan akademik yang kumiliki.
Mungkin bisa dibilang aku ini seorang multi-talent. Mulai dari
kecerdasan matematis, bahasa, kinestetik, sampai musikal, aku menguasainya. Tak
banyak orang tahu bahwa diam-diam aku ini berbakat menggesek biola. Itulah yang
kukatakan sebagai kecerdasan musikal. Bukannya aku sombong, karena sombong itu
ialah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. Aku tidak begitu. Justru
aku mengagungkan kebenaran. Semua tentangku memang benar adanya, bukan
mengada-ada. Aku juga tak pernah memandang rendah orang lain. Mungkin orang
lain saja yang harus mengakui bahwa aku memang ada di atas mereka, dalam banyak
hal.
Pada akhir semester seperti ini
biasanya aku akan lebih sibuk dari biasanya. Banyak sekali agenda-agenda kampus
yang harus rampung sebelum rapat wisuda digelar nanti. Belum lagi urusan
konsultasi para mahasiswa yang bebal itu. Beberapa kali mereka datang ke rumah,
mengemis-ngemis agar aku dapat menerima konsultasinya lalu meng-accskripsinya
yang amburadul itu. Seminggu terakhir ini
sudah terhitung tiga mahasiswa yang terpaksa aku dupak untuk mengulang semester
depan. Aku sudah terbiasa dengan wajah-wajah kecewa mereka.
Awal
pekan lalu, seorang wanita berkunjung ke rumah. Setelah kuhitung-hitung, aku
yakin, itu kedatangannya yang ketujuh. Sepertinya dia lebih pandai mengobral
alasan dari pada menekuni tugas akhirnya. Kali ini dia datang malam-malam
dengan segepok kertas di tanganya. Aku menyesal sekali, istriku mempersilakanya
masuk. Terpaksa aku meladeninya.
“Apa kita sudah buat janji
sebelumnya?” ujarku tanpa basa-basi.
“Maaf Pak, saya tadi tidak
sempat, tadi seharian penuh saya menyelesaikan bab terakhir ini. Dan waktusaya
ke kampus bapak tidak ada,” dalihnya enteng.
“Walah…
itu alasan kamu saja, wong sedari pagi saya di kampus kok! Urusan kampus ya
selesaikan di kampus. Lha kenapa kamu berani menemui saya tanpa membuat janji
terlebih dahulu. Sudah…, sebaiknya kamu pulang saja, saya mau istirahat...”
tukasku santai.
“Tapi Pak, Minggudepan sudah
ujian. Izinkan saya bicara sebentar dengan Bapak. Saya mau minta
pertimbangan-pertimabangan lagi dari Bapak, supaya semuanya clear dan
lusa saya sudah bisa daftar ujian skripsi.” Ia merajuk, membuatku semakin muak.
“Entah besok ujian, entah minggu
depan ujian, itu urusan kamu. Pertanyaanya, selama satu semester ini kamu
ngapain aja? Bukannya dead line yang kuberikan sudah kadaluwarsa?”
“Sungguh, Pak…! Ada urusan
penting yang harus saya utamakan.”
“Lebih penting dari skripsimu?”
tandasku.
Wanitaitu tak bergeming, tapi
matanya mengkilat seperti kaca.
“Sudah, terserah draft itu
mau kamu apakan. Yang jelas malam ini saya mau istirahat. Badansaya rasanya
remuk semua. Maaf.” Ucapku singkat, lalu beringsut meninggalkannya yang tergugu
di ruang tamu.Entah dengan cara apa dia enyah, lagi-lagi aku takkan peduli. Aku
benar-benar muak dengan mahasiswa model begitu.
Mahasiswa kedua yang tidak
kugubris kedatangannya juga seorang wanita, ia mengaku tak punya banyak waktu
untuk menyentuh skripsinya karena iarepot mengurus balitanya. Bagiku, itu
resiko yang harus ia tanggung, maka baginya tak ada lagi toleransi. Aku hanya harus
ia tanggung, maka baginya tak ada lagi toleransi. Aku hanya menyarankan padanya
supaya ia pandai-pandai membagi waktu.
Yang ketiga ialah seorang pemuda
kumal. Dia seorang aktivis organisasi ekstra kampus. Bertubi-tubi ia
mengemukakan alasan dengan bahasa yang diplomatis dan dibuat-buat. Dipikirnya
itu akan merubah nasibnya, sama sekali tidak. Bahkan terang-terangan aku
memberinya dua pilihan, skripsi atau organisasi. Aku menyuruhnya pulang dan
datang kembali semester depan dengan pilihan yang tepat.
Setelah para mahasiswa erroritu,
malam ini datang lagi seorang pemuda dengan potongan alim. Kalau tidak salah
dia adalah seorang anggota takmir masjid kampus. Entah, aku lupa namanya siapa.
Sebenarnya diaitu rajin, tapi untuk soal skripsi dia tak beda jauh dengan
mahasiswa kebanyakan. Dari matanya aku masih menagkap kemuakannya terhadapku,
mungkin dia teringat kejadian beberapa bulan lalu saat aku menegurnya karena
kesalahan fatal menyebut namaku tanpa memakaikan bajunya, gelarnya.
Pada khutbah Jumat waktu itu aku
mendapat jadwal khatib, dan dia sebagai bilal. Sebelum aku naik ke mimbar, dia
menyebutkan namaku begini:
”Dan pada Jum’at kali ini,
khutbah Jumat akan diisi oleh Bapak Muhammad Kibari.”
Bukankah seharusnya dia menyebut
namaku begini:
”Dan
pada Jumat kali ini, khutbah Jumat akan diisi oleh Prof. Dr. H. M. Kibari, MA.
Ph.D.”
Iya kan? Seharusnya begitu, kan?
Utung saja posisiku waktu itu sebagai khatib, kalau tidak pasti aku sudah
melabraknya. Tapi sudahlah, aku sudah melupakan kejadian itu dan memaafkannya.
Dan malam ini aku menerima konsultasinya yang terakhir, tentu setelah dia
membuat janji denganku.
“Maaf Pak, ini hasil revisi saya
yang terakhir,” ucapnya sambil menyerahkan bendel skripsinyayang tebal. Dengan
malas aku meraihnya, lalu membolak-balik halaman itu dengan saksama.
“Apa ini? Sudah mau diwisuda
ngetik saja belum becus. Lihat itu! Apa pantes itu dibaca orang?” pekikku
setelah mencoret beberapa kata yang salah redaksi.
“Maaf, Pak, mungkin saya memang
kurang teliti. Akan segera saya perbaiki,” balasnya. Belum selesai ia bicara
aku sudah menemukan lagi kesalahannya yang lebih fatal.
“Ini apa lagi. Rupanya kamu benar-benar
tak tahu siapa nama dosen pembimbingmu sendiri. Ini lihat!” Tanganku mengacung
pada tulisan: ‘Dosen Pembimbing: Prof. H. Kibari, MA. Ph.D’.
”Ini Doktornya mana, terus M,
Muhammadnya mana? Sudah, sudah, ini bawa lagi skripsimu. Besok saya tunggu di
kampus, jam sepuluh. Ingat! Itu yang terakhir kali, kalau kamu masih
salah-salah lagi, saya sarankan kamu ujian semester depan saja! Kamu belajar
ngetik dulu sambil menghapalkan gelar-gelar saya.” Emosiku meledak. Setelah
sepatah dua patah kata yang terbata, ia memohon diri dengan wajah seperti
terbakar.
Esoknya pemuda itu menemuiku di
kantor, ia kembali dengan print outyang baru, tapi dasar penyakit, dia
membuat kesalahan lagi dengan menghilangkan tanda baca titik pada ujung kata
Prof dan Dr. Tanpa berpikir panjang aku menyuruhnya menuliskan tanda titik itu
secara manual, dengan pena yang digenggamnya. Setelah kurasa beres aku segera
meng-acc-nya, aku tak ingin lama-lama berhadapan dengannya. Bisa-bisa
darah tinggiku kumat.
Usai sidang skripsi, aku bisa
bernafas lega. Hal yang paling sulit bagiku selama berpuluh-puluh tahun jadi
dosen ialah saat menjadi penguji skripsi. Aku selalu dihadapkan pada dua
pilihan yang menyebalkan; yakni memelihara kebodohan para mahasiswa itu atau
mempermalukan mereka. Namun aku lebih sering mengambil pilihan yang pertama:
memelihara kebodohan mereka dengan dua kata: kamu lulus.
Biasanya, seusai nilai keluar,
para mahasiswa bimbinganku yang puas dengan nilainya akan mendatangiku dengan
ucapan terimakasih berikut tandanya. Minggu ini sudah terhitung lima tanda mata
yang aku terima, mulai dari karangan bunga, kemeja, arloji, hiasan dinding
bahkan sampai sepatu made inItali.
Dan malam ini aku menerima lagi
sebuah kiriman paket dalam kardus besar tanpa nama pengirim. Aku tersenyum-senyum
saja menerimanya. Dari beratnya, aku yakin isinya bukan barang biasa.
”Dapat lagi, Bu!” kataku sambil
memamerkan paket kotak itu pada istriku.
“Wah sepertinya berat sekali.
Kira-kira isinya apa ya, Pak?” tanya istriku.
“Yah,
pastinya benda berharga, Bu. Mahasiswaku kalau memberi hadiah memang tak
tanggung-tanggung,” balasku girang.
Istriku tersenyum,”Cepet buka
Pak! Saya jadi ndak sabar pingin ngeliat isinya apa.”
”Iya, iya, saya buka. Sabar. Tapi
tolong, Ibu bikinin teh dulu buat Bapak.”
”Iya, Ibu bikinin. Tenang saja.
Tunggu sebentar ya, Pak!” Ujarnya sambil beranjak ke dapur.
Istriku pasti akan terkagum-kagum
melihat kado istimewa dari mahasiswaku kali ini. Bagaimana tidak istimewa,
bungkusnya saja dari kertas emas berkilauan dengan pita cokelat muda, masih
dihiasi bunga-bunga rumput kering pula, artistik sekali. Dan untuk lebih
memberi sensasi kejutan, pengirim kado ini pasti sengaja membuat saya penasaran
dengan tidak mencantumkan siapa nama pengirimnya.
Maka dengan tidak sabar aku membuka
kardus itu. Satu persatu kulucuti pita dan plester yang rapat membalut kardus
itu. Kubuka kertas emas mengkilat itu pelan-pelan agar tidak sampai sobek. Aku
benar-benar sudah tidak sabar untuk melihat isinya. Mulai kusingkap kardus itu
dengan hati dag-dig-dug penasaran. Setelah kubuka kardus itu aku tercekat,
kaget bukan main. Dua papan batu nisan dari marmer terbujur di sana. Pada salah
satu batu nisan itu terukir tulisan yang sangat indah, berseni. Tulisan itu
begini:
Alm. Prof. Dr. H. M. Kibari, MA.
Ph.D
Jidatku terasa dihantam pendulum
satu ton saat kusadari apa yang baru saja kubaca. Kepalaku mulai terasa pening.
Bersama dengan batu nisan itu, terselip pula selembar kertas dengan tulisan
tangan yang cukup rapi, kubaca tulisan itu perlahan:
Bapak Prof. Dr. H. M. Kibari, MA.
Ph.D. yang ter—gila—hormat. Mohon maaf sebelumnya.
Ini saya kirimkan kenang-kenangan
berharga buat Anda. Batu mahal berukir gelar kebanggaan Anda. Jadi, kelak Anda
tidak usah repot-repot membayar orang untuk mengukir gelar Anda pada batu itu.
Oh ya, saya juga telah menuliskan
satu lagi gelar bagi Anda: Almarhum. Tentu Anda senang, gelar Anda bertambah
satu lagi. Gelar itu akan benar-benar Anda dapatkan, jadi Anda tak usah khawatir.
Mohon disimpan baik-baik hadiah dari saya ini. Anda boleh memajangnya di ruang
tamu atau di kamar tidur Anda, supaya Anda selalu bisa melihatnya. Semoga
bermanfaat.
Salam
Mahasiswamu.
Usai membacanya kepalaku
berdenyut-denyut tak karuan. Wajah-wajah kecewa itu berkelebat satu-persatu
menggelayuti dinding kepalaku. Aku seperti menemukan maksud indah yang enggan
kuterima kebenarannya. Tanganku masih gemetar menimang batu kuburan itu, aku
tak mau siapapun tahu akan hal ini. Sebelum istriku melihatnya, secepat kilat
kumasukkan kembali batu itu ke dalam kardus lalu membungkusnya kembali,
rapat-rapat.
“Wah, isinya apa, Pak? Ibu mau
ngeliat,” tutur istriku dengan secangkir teh yang masih bergoyang di tanganya.
“Ah, tak perlu, Bu. Ini cuma hiasan
batu berukir biasa,” balasku kecut. Sesuatu yang tidak enak mulai menggeliat di
kepalaku lalu meletup-letup di palung dadaku.
Cerpen Oleh: Mazdhar Zainal
Cerpen Oleh: Mazdhar Zainal
Lembah Ibarat, 2009-2010
Cerpen ini menjadi Juara 1 Lomba cerpen
KAMMI Universitas Negeri Malang
Sangat menginspirasi artikelnya.
BalasHapusTerkait dengan penulisan gelar di batu nisan, menurut saya adalah kembali lagi kepada niat masing-masing individu. Apakah tujuannya untuk riya atau untuk memotivasi anak dan cucu kita kelak agar minimal pendidikannya bisa setara dan tidak lebih rendah.